Seni Rupa Tradisional, Modern dan Kontemporer
A. Seni Rupa Tradisional
Istilah tradisional berasal dari
kata “tradisi” yang menunjuk kepada suatu institusi, artefak, kebiasaan atau
prilaku yang didasarkan pada tata aturan atau norma tertentu baik secara
tertulis maupun tidak tertulis yang diwariskan secara turun temurun dari suatu
generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka secara
singkat dapat dikatakan bahwa karya seni rupa tradisional adalah karya seni rupa
yang bentuk dan cara pembuatannya nyaris tidak berubah diturunkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Bukan hanya itu, nilai dan landasan filosofis
yang berada dibalik bentuk karya seni rupa tradisional tersebut pun umumnya
relatif tidak berubah dari masa-ke masa. Bentuk-bentuk seni rupa tradisional
ini dibuat dan diciptakan kembali mengikuti suatu aturan (pakem) yang ketat
berdasarkan sistem keyakinan atau otoritas tertentu yang hidup dan terpelihara
di masyarakatnya.
Berdasarkan pengertian seni
tradisional yang telah disebutkan di atas, kita menjumpai berbagai karya seni
rupa di Indonesia khususnya karya-karya seni kriya dapat dikategorikan sebagai
karya seni rupa tradisional. Banyak sekali benda-benda kriya yang tersebar
dikepulauan Nusantara, yang bentuk, bahan dan cara pembuatannya hingga saat ini
tidak mengalami perubahan yang berarti sejak pertama kali diciptakannya.
Karya-karya seni tradisi ini umumnya hidup di lingkungan masyarakat yang masih
kuat memegang norma atau adat istiadat yang diwariskan para leluhurnya.
Perubahan umumnya terjadi pada fungsi dari benda-benda kriya tersebut yang
semula berfungsi sebagai benda pakai atau benda-benda pusaka kini menjadi benda
hias atau cindera mata. Perubahan sistem sosial dan budaya masyarakat serta
kemajuan teknologi berperan besar mempengaruhi perubahan fungsi benda-benda
tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya dalam
konteks seni rupa dunia, istilah seni rupa tradisional kerap ditujukan kepada
karya seni rupa non Barat. Sifatnya yang mentradisi dan tidak berubah ini
menjadi pembeda utama dengan karya seni rupa Modern yang senantiasa menuntut
inovasi dan kebaruan. Ciri lain dari karya-karya seni rupa tradisional ini
adalah latar belakang penciptaan atau pembuatannya yang senantiasa terikat oleh
fungsi atau konteks tertentu. Pada karya-karya komunal seperti itu, peran
ekspresi individu senimannya nyaris tidak tampak. Hak penciptaan karya seni
rupa bukan milik perorangan tetapi milik masyarakat pendukungnya. Dengan
demikian hampir tidak ada karya seni rupa tradisional yang menggunakan inisial
pembuatnya seperti yang umumnya terdapat pada karya-karya seni Modern.
Karya seni rupa tradisional
tersebar luas dari ujung Barat hingga ujung Timur kepulauan Nusantara
(Indonesia). Sejak masuknya kolonialisme barat (penjajahan bangsa Eropa) ke
kepulauan Nusantara dan berkembangnya paham seni rupa Modern di Eropa, maka
karya-karya seni rupa Nusantara di luar kategori karya yang menggunakan konsep
Modern tersebut dikategorikan sebagai karya seni rupa tradisional. Pengkategorian
ini dalam pandangan yang sempit seringkali digunakan untuk menunjukkan karya
seni rupa yang bermutu tinggi (modern) dengan karya yang bermutu rendah
(tradisional). Pengaruh penjajahan bangsa Barat yang cukup lama di kepulauan
Nusantara menyebabkan pandangan semacam ini terus berkembang yang memandang
karya-karya seni kriya (seni rupa tradisional) lebih rendah dari karya seni
lukis atau patung modern. Hal tersebut tidak terlepas dari pandangan sebagian
masyarakat yang memandang modern identik dengan kemajuan dan perkembangan
sedangkan tradisional identik dengan stagnasi, kuno atau ketinggalan jaman.
Sikap dan cara mengapresiasi yang keliru ini seringkali menyebabkan karya-karya
seni rupa tradisional yang sesungguhnya bernilai tinggi terabaikan dan
terlupakan. Padahal karya-karya seni rupa tradisional Nusantara ini memiliki
peluang yang sangat besar untuk dikembangkan dan menjadi gagasan dalam berkarya
seni rupa. Apresiasi yang tepat diharapkan dapat menghasilkan inovasi
karya-karya seni rupa yang memiliki cirikhas Indonesia.
B. Karya Seni Rupa Modern
Seni rupa Modern adalah istilah
umum yang digunakan untuk kecenderungan karya seni yang diproduksi sejak akhir
abad 19 hingga sekitar tahu 1970 an. Seni rupa modern menunjuk kepada suatu
pendekatan baru dalam seni dimana tidak lagi mementingkan representasi subjek
secara realistik—penemuan fotografi menyebabkan fungsi penggambaran di dalam
seni menjadi absolut, para seniman modern berksperimen mengeksplorasi cara baru
dalam melihat sesuatu, dengan ide segar tentang alam, material dan fungsi ini,
seringkali bergerak melaju kearah abstraksi.
Istilah Modernisme sendiri
menunjukkan ideologi yang mempengaruhi gerakan budaya, politik dan seni yang
menyertai perubahan masyarakat di Barat pada akhir abad 19 dan awal abad 20.
Secara meluas, modernisme dideskripsikan sebagai satu seri pergerakan budaya
progresif dalam seni rupa, arsitektur dan musik, literatur dan seni pakai yang
muncul dalam dekade sebelum 1914. tercakup di dalam perubahan dan kehadirannya,
modernisme menjadi arah karya seniman, pemikir, penulis dan perancang yang
memberikan label baru tradisi akademi dan sejarah seni pada akhir abad 19 serta
mengkonfrontasi aspek ekonomi, sosial dan politik baru yang dimunculkan dunia
modern.
Memahami seni rupa modern dapat
juga dengan melakukan analisis terhadap istilah pembentuknya yaitu ”seni” dan
”modern”. Istilah seni umumnya merujuk pada segala kegiatan dan hasil karya
manusia yang mengutarakan pengalaman batinnya yang karena disajikan secara unik
dan menarik memungkinkan timbulnya pengalaman atau kegiatan batin pula pada
diri orang lain yang melihat dan menghayatinya. Hasil karya ini lahir bukan
karena didorong oleh hasrat memenuhi kebutuhan hidup manusia yang paling pokok,
melainkan oleh kebutuhan spiritualnya, untuk melengkapi dan menyempurnakan
derajat kemanusiaannya. Dengan batasan seperti ini kita dapat mencoba untuk
menunjukkan benda apa saja yang layak untuk disebut seni dapat masuk ke
dalamnya. Adapun istilah “modern” dalam hal ini tidak selalu harus dihubungkan
dengan waktu. Sarah Newmeyer misalnya, walaupun terasa agak absurd, menulis
dalam bukunya bahwa seni modern itu boleh jadi berupa gambar bison yang
digoreskan 20.000 tahun yang lalu dan boleh jadi juga karya Picasso yang baru
saja diselesaikan pagi ini.‟ Berdasarkan pendapat ini jelaslah bahwa ia
menggunakan istilah modern tidak dalam hubungannya dengan kronologi melainkan
dimaksudkan untuk menunjukkan sesuatu kelompok karya yang memifiki sifat-sifat
tertentu. Maka sifat-sifat tertentu itulah yang dapat dipandang sebagal ciri
khas seni modem sehingga dengan mudah akan dapat dikenali mana yang bisa
digolongkan dalam seni modern dan mana yang tidak. Dengan ungkapan itu
sesungguhnya artian modern tersebut diperluas tetapi sekaligus juga dipersempit.
Diperluas, karena istilah itu menyangkut juga seni prasejarah dan dipersempit
karena sebaliknya, belum tentu apa yang dilukiskan sekarang dapat masuk di
dalamnya. Apabila kita ingin membenarkan kata-kata Newmeyer tersebut, dapatlah
dikatakan bahwa setidaknya pada saat diciptakan, seni prasejarah ini memang
memifiki sifat-sifat modern. Kalaupun secara kronologis kita akan membatasi
daerah seni modern ini dan menyempitkan pada karya-karya yang diciptakan pada
apa yang biasa kita sebut sebagai jaman modern, kita akan juga mengalami
kesukaran, yaitu di mana menarik garis batasnya; kapan dan di manakah mulainya
seni rupa modern itu. “Modern art begins nowhere because it begins everywhere.
It is fed by a thousand roots, from cave paintings 30,000 years old to the
spectacular novelties in the last week’s exhibitions,” kata Canaday yang kurang
lebih menunjang ungkapan Newmeyer di atas. Semua pencapaian dari masa ke masa
di banyak tempat di dunia ini memberikan andilnya pada pembentukan seni modern,
sehingga susahlah untuk menentukan kapan dan di mana periode seni rupa modern
itu sebenarnya mulai. Maka untuk itu, sekali lagi, kita harus mempunyai
pegangan, kualitas apakah yang paling berharga dalam seni modern tersebut dan
dengan itu mencoba untuk mencari kapan kualitas tadi mulai ada atau berkembang
biak dengan baik (Soedarso, 2000).
Kalau kita mengacu periodisasi
sejarah umum di Eropa—dimana sebagian besar kejadian dalam panggung sejarah
seni rupa modern ini berlangsung—maka babakan sejarah modern Eropa dianggap
mulai sejak zaman Renesans pada abad ke-15 sedangkan sejarah seni rupa modern
di Eropa baru pada abad ke-19, dengan munculnya tokoh pelukis J.L. David di
Perancis yang dianggap memiliki sesuatu yang dapat disejajarkan dengan kualitas
modern tadi. Bahkan ada pula yang menganggap seni modern Eropa dimulai pada
massa yang lebih akhir lagi.
Seperti telah diuraikan di atas,
seni modern pada dasarnya tidak terbatas oleh hal-hal yang kasatmata seperti
objek-objek lukisan tertentu ataupun corak dan gaya tertentu, melainkan
ditentukan oleh sikap batin senimannya. Seni modern pun, berkat perkembangan
komunikasi modern yang menyertai kemajuan teknologi, tidak kenal lagi akan
batas-batas daerah dengan kekhasan tradisinya masing-masing. Seni modern
menjadi universal sifatnya. Walaupun di sana-sini ada pula terdapat cap-cap
daerah atau ada kalanya seni tradisi secara sadar atau tidak dimunculkan oleh
seseorang pelukis modern ke dalam hasil karyanya, namun kenyataannya kita akan
kesulitan untuk dapat menebak dari mana asal sesuatu lukisan yang dihadapkan
kepada kita. “Today the boundaries are vague Horizons are infinite; the artist
is tempted to explore in a hundred directions at once.” Tulis Canaday pula.
Mengenai yang terakhir ini, yaitu bahwa para seniman modern terangsang untuk
menjelajah ke segala arah, kebenarannya tidak hanya sebatas arah di peta bumi
saja, bahwa misalnya banyak seniman Eropa meninggalkan negerinya untuk mencari
objek lukisan yang lain, tetapi juga karena daerah perhatian mereka itu meluas
ke mana-mana. Bukan hanya pemandangan yang indah dan wanita cantik saja yang
ingin dilukisnya, tetapi juga toilet bekas yang sudah tidak terpakai lagi atau
kulit pokok kayu yang memiliki jenis permukaan atau texture yang unik, atau
bahkan jaringan sel-sel yang hanya dapat diamati melalui mikroskop yang dulu
sama sekali tidak terjamah oleh perhatian seniman, kini menjadi lahan yang
subur bagi objek lukisan para seniman modern. Dengan ini jelaslah bahwa bagi
mereka itu seni modern tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, bahkan di sana-sini
juga tidak terikat oleh tatabahasa maupun kaidah-kaidah seni yang sudah mapan.
Mereka sanggup menerima segala macam bentuk seni hampir dengan tiada bersyarat.
Batasan-batasan yang dulu ada seperti ikatan tradisi (spirit of the race) atau
ikatan zaman (spirit of the age), demikian juga ketentuan-ketentuan tentang isi
ataupun tema telah disisihkan semuanya.
Satu syarat yang masih dituntut
oleh seni modern yang bahkan merupakan ciri khasnya, ialah “kreativitas”. Dan
sebuah perkataan ini tercantumlah beberapa sifat yang merupakan
gejala-gejalanya. Oleh karena itu untuk menghindarkan istilah „modern‟ yang
bermuka banyak itu ada pula yang menamai seni modern tersebut dengan istilah
“seni kreatif”. Seorang seniman modern akan melihat dunia atau bagian
daripadanya yang sedang dihadapi sebagai objek dari lukisannya seolah-olah
seperti baru saja objek itu diciptakan. Artinya, seakan-akan baru sekali itu
saja ia menghayatinya dan baru kali itu pula mencoba untuk melukisnya, walaupun
kenyataannya sudah berkalikali Ia melukiskan objek tersebut, dan entah telah
berapa kali ia melihatnya. Kita tidak tahu sudah berapa kali pelukis kita yang
terkenal, Affandi, melukis potret diriya. Namun setiap kali kita menatapnya,
sekian kali pula kita menemukan sesuatu yang baru pada karya-karya itu, karena
sang pelukis setiap kali selalu menghayati kembali dan mendapatkan pengalaman
baru dalam objeknya, walaupun objek itu adalah dirinya sendiri. Seorang pelukis
lain harus melupakan kuda atau gambar kuda yang telah seribu kali dilihatnya
apabila ia akan melukis seekor kuda. Ia harus melihat kuda itu dengan mata
kepalanya sendiri— atau mata hatinya—dan memperoleh impresi pertama dari
pengalaman tersebut. Sebagaimana kita ketahui, hasil pengamatan itu amat
dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan serta kesan si pengamat atas objek
pengalaman yang sudah dimiliki sebelumnya yang tentunya berbeda dari tiap
pengamat yang lain, dan kiranya juga dipengaruhi oleh suasana hati Si pengamat
itu sendiri ketika Ia sedang mengamatinya. Yang teràkhir inilah yang menuntut
pengamatan itu harus selalu dilakukan setiap saat seseorang akan berkarya.
Dalam hubungannya dengan keadaan tersebut, kira-kira 100 tahun yang lalu
Gustave Courbet, Si pelopor realisme dari Perancis itu, pernah berharap agar
museum-museum ditutup saja sekurang-kurangnya 20 tahun lamanya agar para
seniman muda tidak sempat berdialog dengan karya-karya yang ada di dalamnya
yang semuanya merupakan hasil pengamatan orang lain. Ia berkeinginan agar apa
yang pernah diciptakan orang tidak mempengaruhi pengamatan pelukis berikutnya.
Mungkinkah itu dan perlukah itu, adalah soal-soal lain yang harus dijawab lewat
ilmu pendidikan seni rupa.
Sikap batin yang demikian itulah
yang membedakan seniman modern dan golongan tradisional ataupun akademik—yang
sekarang juqa sudah menjadi tradisional. Sikap batin yang tidak stereotip, yang
selalu ingin akan yang baru dan yang lain dari pada yang lain. Kreativitas
:sangat penting dalam seni modern, dan dalam kretivitas ini berkembanglah
sifat-sifat orijinalitas, kepribadian, kesegaran, dan sebagainya. Dengan
bayaran apapun (yang kadangkala sangat tinggi, dengan mengorbankan nilai-nilai
yang sesungguhnya masih baik dan masih diperlukan oleh seni yang manapun juga),
para seniman modern amat menghargai dan mengejar-ngejar nilai-nilai tersebut
yang singkat kata dapat disebut sebagai nilai kebaruan atau novelty.
Apabila seorang anak menunjukkan
coreng moreng dan mengatakan bahwa itu adalah gambar anjing atau kucing, maka
kiranya itulah konsepnya atas hewan-hewan tersebut yang belum sempat
“diperbaiki” oleh hubungan anak itu dengan tradisi dan masyarakat disekitarnya.
Karya-karya itu adalah ekspresi anak tersebut yang masih murni. Seorang-seniman
dewasa tidak mungkin berada dalam keadaan semurni itu karena ia tidak dapat
melepaskan diri dari ikatan sosial yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu
seorang seniman modern dengan sadar berusaha untuk membebaskan dirinya dari
ikatan tersebut dalam hubungannya dengan tanggapannya terhadap objeknya.
Berhasil atau tidaknya usaha ini tidak selalu identik dengan keberhasilan karya
seninya. Maka usaha dan sikap batin itulah yang harus menjadi ukuran, bukan
sematamata hasil usahanya. Sekalipun tidak sedikit yang mendiskreditkan seni
lukis yang realistik dan lingkungan seni modern, namun bertolak dari pendapat
di atas tentunya ada juga lukisan yang bergaya realistik itu yang dapat digolongkan
dalam seni modern, yaitu apabila sikap batin si seniman dalam melukisnya dapat
dikembalikan kepada watak seni modern di atas; yaitu apabila si seniman tidak
bertindak stereotip dan selalu mengadakan pengamatan dahulu sebelum melahirkan
karya realistiknya. Perlu ditekankan bahwa bagaimanapun juga lukisan atau hasil
seni yang lain itu selalu merupakan interpretasi si seniman dalam menanggapi
objeknya. Baik hasil seni itu merupakan suatu taferil yang secara perspektip
dapat dipertanggungjawabkan ataukah bercorak dekoratif ala Mesir kuna, keduanya
adalah interpretasi juga. Pada suatu saat seorang sehiman menggunakan imajinasi
atau visinya untuk menangkap objek lukisannya sehingga terjadilah “perspektif
susun timbun” seperti yang ada di Mesir kuna itu, tetapi pada saat lain ia
menggunakan ketajaman matanya yang kemudian ternyata menjadi pendorong
diketemukannya perspektif di zaman Renesans. Namun keduanya jelas tidak
berhasil dalam memberikan kepada kita “realitas” objeknya secara total; yang
satu mengikuti ide atau pengertiannya tentang objek itu dan dengan demikian
terjadilah karya yang ideoplastik yang secara visual tampak tidak wajar, dan
yang lain menganakemaskan matanya membentuk suatu lukisan yang lebih “enak”
dipandang mata (visioplastik) walaupun masih belum terhindar dart “kesalahan”.
Dapat disaksikan misalnya, meja yang bujur sangkar menjadi tidak sama lagi
panjang sisi-sisinya, sudut-sudutnya tidak 90° tetapi ada yang tumpul dan ada
yang runcing, dan kakinya yang empat seningkali hanya kelihatan tiga. Dalam
sebuah gambar pemandangan sering terlihat tiang-tiang listrik yang sama
tingginya tergambar tidak sama tinggi; makin jauh jaraknya dan taferil
ukurannya menjadi makin pendek. Akibat luasnya daerah seni modern itu maka
variasi yang terdapat di dalamnya pun tak terhingga pula jumlahnya, sehingga
tidak mungkin untuk memasukkannya ke dalam suatu difinisi yang formal.
Pada saat semua objek yang
kasatmata ini mulai mengering dan makin susah menawarkan hal-hal baru yang
menarik, kreatif, dan lain dan pada yang lain, maka perkembangan ilmu jiwa
dalam ala Freud (Sigmund Freud) menampilkan lahan baru yang tidak
kering-keringnya, yaitu dunia imajinasi manusia. Dunia baru ini tidak ada
batasnya, kecuali batas kemampuan manusia untuk mengedarinya atau batas
kneativitas seniman untuk menemukan inovasinya. Sementara itu, penemuan teknik
fotografi dalam satu hal telah mengurangi daerah gerak seni lukis, karena
fotografi yang dengan cepat dan tepat mampu merekam objek itu menggantikan
sebagian fungsi seni lukis yaitu fungsi dokumentatif dan fungsi menyajikan
presentasi realistik bagi objek-objeknya. Sejak berkembangnya fotografi
tersebut seni lukis tidak lagi dibebani dengan fungsi sosial berupa
penggambaran secara visual ataupun pembuatan gambar-gambar ilustratif untuk
bermacam tujuan. Namun perlu juga diingat bahwa di lain pihak fotografi telah
sempat pula memperluas daerah jelajah seni lukis. Banyak teknik-teknik melukis
di zaman teknologi tinggi ini yang menggunakan pertolongan fotografi. ilustrasi
– ilustrasi tertentu sekarang ini memang masih ada yang dikerjakan dengan
tangan, tetapi itupun sudah disenimodernkan, artinya, kekreatifan diperlukan
juga di dalamnya, sedangkan yang betul-betul memerlukan ketepatan presentasi
objek lebih baik disajikan saja dengan menggunakan kamera. Maka oleh karena itu
timbullah kemudian perbedaan antara “representasi” dengan “interpretasi”,
antara citra dan lambang, yang merupakan fondasi yang kuat untuk menelaah
perkembangan seni modern.
Dari masa lampau kita mengenal
adanya patronage (patron) dalam seni, yaitu perlindungan terhadap seni yang
diberikan oleh tokoh-tokoh penguasa atau gereja demi kelangsungan
perkembangannya. Pasang surutnya kemampuan pelindung atau penunjang seni ini
dalam melakukan fungsinya besar sekali pengaruhnya dalam perkembangan seni
modern. Misalnya, apabila pada masa kejayaannya patron-patron seni tersebut
adalah diktator-diktator seni yang bisa memaksakan arah perkembangan seni
karena merekalah yang membiayainya, maka kini sebaliknyalah yang terjadi; mereka
itu yang harus tunduk pada kemauan para seniman. Pada zaman modern ini seniman
tidak lagi menunggu uluran tangan mereka yang memiliki uang untuk menciptakan
karyanya. Mereka mampu membiayai sendiri ciptaan-ciptaannya. Hal ini
dimungkinkan pula antara lain oleh makmn populernya seni-seni kecil semacam
lukisan ukuran esel (easel-painting) atau patung dada ukuran sebenarnya (life
size), yang biayanya relatif murah dan dapat diusahakan sendiri oleh para
seniman penciptanya, sehingga karenanya mereka dapat melepaskan diri dari
ketergantungannya pada seorang pelindung. Sebagaimana diketahui di masa lampau,
pada saat keemasan agama atau di waktu kejayaan kekaisaran yang absolut, yang
berkembang sangat menonjol adalah jenis kesenian kolosal, lukisan dinding yang
besar-besar, arsitektur istana dan gereja, maupun patung-patung besar yang
disejajarkan dengan kebesaran para pendukungnya yang tidak mungkin di usahakan
sendiri oleh senimannya. Dengan demikian si sponsor ini menjadi penentu kemana
seniman atau karya seni akan di arahkan.
Pecahnya Revolusi Perancis pada
tahun 1789 merupakan titik akhir dan kekuasaan feodalisme di Perancis yang
pengaruhnya terasa juga pada bagian-bagian dunia lainnya. Demikian pula
revolusi ini ternyata tidak hanya merupakan perubahan tata politik dan tata
sosial saja, tetapi juga menyangkut kehidupan seni, karena dengan ini berarti
berakhir pulalah pengaruh raja atas kehidupan dan perkembangan seni. Jauh
sebelum itu antara gereja dan seniman telah pufa terjadi keretakan hubungan
yang di satu fihak disebabkan oleh kemunduran fungsi dan daya tarik gereja di
masyarakat sejak zaman Renesans dan di lain fihak karena dunia seni telah
menemukan tuannya yang baru, yaltu raja dan para bangsawan yang merupakan
penguasa-penguasa dan pemilik harta sejak kemerosotan fungsi gereja. tersebut.
Oleh karena itu kini para seniman menjadi tokoh-tokoh yang bebas,
melayang-layang tanpa tambatan. Mereka tidak punya lagi fungsi yang terang
dalam tatà sosial yang baru itu. Maka lambat laun terbentuklah kelompok baru
dalam masyarakat, ialah kelompok seniman. Sedikit demi sedikit mereka mulai
mencipta semata-mata memperturutkan panggilan hati masing-masing, melukis bukan
karena ada yang meminta atau memberi tugas, melainkan semata-mata karena ingin
melukis saja. Maka dengan demikian mulailah riwayat seni lukis modern dalam
sejarah yang ditandai dengan individualisasi dan isolasi diri ini.
C. Karya Seni Rupa Kontemporer
Selain berdasarkan medianya,
kesenian juga dapat digolongkan berdasarkan sifatnya, yakni dengan seni
kontemporer dan klasik. Seni klasik yang dimaksud adalah kesenian yang
diasosiasikan pada puncak penciptaan seni tertinggi pada suatu masyarakat.
Sedangkan dalam seni kontemporer, sifat kesenian dihubungkan dengan penciptaan
kekinian dan tengah mengalami proses perkembangan.
Istilah kontemporer sendiri berasal
dari kata contemporary yang berarti apa-apa atau mereka yang hidup pada masa
yang bersamaan (D. Maryanto, 2000). Walaupun demikian istilah “seni rupa
kontemporer” ternyata tidak dapat begitu saja diterjemahkan sebagai seni dengan
sifat kekinian seperti dijelaskan di atas. Istilah seni rupa kontemporer di
Barat pada kenyatannya masih menimbulkan perdebatan, terutama karena tidak ada
ciri dominan yang dapat dirujuk untuk menunjuk kepada suatu praktek atau bentuk
seni yang baku. Pengertian kontemporer semakin menimbulkan perdebatan, apalagi
jika istilah tersebut digunakan untuk menunjuk pada praktek seni rupa di
Indonesia. Berbagai perdebatan ini muncul karena penggunaan artinya secara
leksikal menerangkan kekinian sekaligus juga mewakili konsep seni rupa
kontemporer yang dipengaruhi wacana dalam seni rupa Barat.
Di Barat, wacana kontemporer
dimulai dengan menunjukkan pada berakhirnya era modernisme dalam seni rupa
(modern art). Berakhirnya era ini memunculkan terminologi baru yang kemudian
dipakai dalam praktek seni rupa di Barat yaitu kecenderungan postmodern (post
modernisme). Penggunaan istilah posmodern ternyata menyimpan persoalan—karena
kompleksitas dan keragaman pengertian yang dibawanya—sehingga lebih banyak
digunakan istilah seni rupa kontemporer (contemporary art). Walaupun demikian,
istilah ini masih mendatangkan masalah karena tidak mengarah pada pengertian
seni rupa tertentu. Kerumitan ini ditambah dengan pengertian contemporary yang
secara leksikal sama dengan pengertian modern yang berarti juga ”masa kini” (A.
Irianto, 2000).
Seni rupa kontemporer dapat
dikatakan sebagai sebuah wacana dalam praktek seni rupa di Barat yaitu praktek
seni rupa yang menunjuk kepada kecenderungan posmodern. Kecenderungan ini
menyiratkan wacana dalam praktek seni rupa yang “anti modern”. Hal ini
disebabkan karena salah satu paradigma kemunculan posmodern adalah paradigma
yang menolak modernisme. Sifat-sifat modern yang ditolak diantaranya adalah
semangat universalisme, kolektivitas, membelakangi tradisi, mengedepankan
teknologi, individualitas (I. M. Pirous, 2000) serta penolakan (pelecehan)
non-Barat. Sifat-sifat modern ini pada perkembangannya seolah-olah
mengesampingkan berbagai produksi kesenian non Barat yang dianggap lebih rendah
dari seni modern karena bersifat tradisional. Sifat inilah yang ditentang oleh
penganut seni rupa posmodern karena sifat-sifat modern tadi tidak mengakui
karya seni rupa tradisonal yang dihasilkan oleh budaya komunal sebagai karya
seni rupa yang sejajar dengan karya seni rupa modern.
Ciri kontemporer dalam wacana seni
rupa kemudian dikukuhkan dengan semangat pluralisme (keberagaman), berorientasi
bebas serta menghilangkan batasan-batasan kaku yang dianggap baku
(konvensional) dalam seni rupa selama ini. Dalam seni rupa kontemporer batasan
medium dan pengkotak-kotakan seni seperti “seni lukis”, “seni patung” dan “seni
grafis” nyaris diabaikan. Orientasi bebas dan medium yang tidak terbatas
memunculkan karya-karya dengan media-media inkonvensional serta lebih berani
menggunakan konteks sosial, ekonomi serta politik (Sumartono, 2000)..
Walaupun ada pemaknaan khusus dalam
wacana seni rupa kontemporer seperti telah disebutkan di atas, tetapi arti
leksikal yang menunjukkan konteks kekinian tidak dapat diabaikan begitu saja.
Berdasarkan konteks kekinian, seni rupa kontemporer dapat dipandang sebagai
karya seni yang ide dan pembahasannya dibentuk serta dipengaruhi sekaligus
merefleksi kondisi yang mewarnai keadaan zaman ini tempat “budaya global”
menyeruak, yang menebarkan banyak pengaruh yang menjadi penyebab berbagai
perubahan dan perkembangan (Sumartono, 2000)
Dengan demikian konsep seni rupa
kontemporer yang dimaksud dalam tulisan ini dapat dipakai untuk menunjukkan
wacana seni anti modernisme yang mengagung-agungkan universalisme, menggunakan
medium inkonvensional, berorientasi bebas, tidak terikat pada konvensi-konvensi
yang baku, meniadakan pengkotak-kotakan serta lebih berani menyentuh persoalan
sosial, ekonomi serta politik. Persoalan sosial, ekonomi dan politik ini
diwarnai dengan keadaan zaman di mana budaya global banyak memberikan pengaruh
terhadap perubahan dan perkembangan yang bersifat kultural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar